Oleh: Erond L. Damanik
Universitas Negeri Medan
Pengantar
Keberhasilan sektor Pariwisata tidak muncul dengan sendirinya. Pariwisata bukanlah sekedar menjual keindahan alam, lansekap geografis atau topografis yang berbeda-beda bagi setiap negara. Pariwisata bukan sekedar mengandalkan alam, tetapi juga kreasi manusia (destinasi buatan), atau juga berpola historis, religius, budaya maupun lingkungan, yaitu karakteristik lokal yang membedakannya dengan di tempat lain. Pariwisata menjual ‘nostalgia’ yaitu mengubah identitas dan memori kolektif bernilai ekonomi. Nostalgia adalah pengemasan objek menjadi destinasi yang mencerminkan tingkat peradaban, pengetahuan dan kecerdasan manusia dari masa lalu. Pariwisata, dengan demikian adalah seluruh aktifitas manusia yang dimanfaatkan untuk mengubah selera pengunjung, dari hal-hal biasa menjadi luar biasa, menumbuhkan semangat berkunjung, menghabiskan waktu dan belanja sesuai karakteristik lokal.
Bali misalnya, menjadi detinasi wisata internasional dewasa ini tidak muncul dengan sendirinya. Bali menjadi destinasi internasional telah dikemas sejak tahun 1914. Mengalami pasang surut namun kepiawaian masyarakatnya yang didukung oleh political will dari pemerintah setempat. Sebenarnya, promosi wisata Bali dengan Danau Toba hanya dilakukan berselisih waktu selama 10 tahun. Keduanya dipromosikan oleh KLM Line, perusahaan pelayaran kerajaan Belanda. Namun, dibanding Bali, Danau Toba mengalami stagnasi terutama sejak tahun 1997. Kemerosotan tajam berdampak sistematis bagi Danau Toba, yakni matinya industri hotel, biro perjalanan, hiburan dan sektor informal ekonomi masyarakat.
Pariwisata membutuhkan kebijakan, apresiasi dan tangan-tangan trampil untuk mengubah dan mengelola alam bagi pendidikan, pengetahuan, refleksi, nostalgia, rekreasi bagi manusia. Pariwisata tidak sekedar menjual lensekap dan panorama alam, sebagaimana terjadi hingga tahun 1980-an. Pariwsiata menjelang Abad 21, terutama sejak tahun 1980-an berubah menjadi eco-tourism (wisata lingkungan) maupun city-tourism (wisata kota). Konsep pariwisata pertama adalah wisata yang memadukan keindahan geografis dan topografis dengan kultural beragam manusia. Konsep wisata kedua adalah paradigma yang memandang bahwa kota dapat dikemas menjadi destinasi wisata. Namun, konsep kedua dibedakan dengan urban tourism (wisata kota metropolitan) yang cenderung menjadikan urbanisasi sebagai cara menghasilkan uang karena urusan pendidikan, bisnis, perdagangan dan lain-lain.
Di banding urban-tourism, yang cenderung mencerminkan modernisasi kota-kota Abad 21 sebagai destinasi wisata, city tourism lebih kepada pengemasan kota-kota menengah sebagai destinasi wisata. Di kota-kota menengah, biasanya, embrio dan jati diri, ikon dan identitas kota relatif terlindungi (terlestarikan) dibanding urban-tourism yang cenderung modern atau disebut metropolitan. Pada kota-kota metropolitan, wisata cenderung diarahkan pada kepuasan belanja, konsumerisme dan gaya hidup modern. Wisata metropolitan cenderung mengarah pada ‘masyarakat konsumtif’ sebagaimana digambarkan Jean Baudrillard. Kepuasan konsumeris menjadi inti pokok wisata urban. Pengalaman wisata dipadu dengan hiburan modern serta sedikit sekali pengalaman asli sebagaimana ditemukan pada masyarakat di kota-kota menengah.
City tourism masih mencerminkan pengalaman rekreasi yang kompleks. Kerumitan dan kompleksitas kota-kota menengah tidak seperti kota metropolitian. Di kota menengah, pengunjung masih dapat menemukan embrio kota, bangunan-bangunan dari periode lampau dengan usia ratusan bahkan ribaun tahun lalu. Kuliner dominan mencerminkan kekhasan lokal, berbeda dan tidak homogen seperti di kota-kota metropolitan. City tourism mengenalkan keagunan kota berdasar peninggalan-peninggalan sejarah yang dimilikinya, kuliner yang diperkenalkan beragam dan mencerminkan kekhasan masyarakat. Performa dan atraksi budaya menggambarkan karakteristik lokal, cenderung berbeda-beda dan sangat menarik perhatian pengunjung.
City tourism cenderung mengedepankan objek-objek historis, yang dikemas menjadi destinasi wisata. Dalam hal ini, inti pokok wisata adalah menjual nostalgia, kenangan atau memori masa lalu sebagai identitas kota. Kota-kota yang terdapat di Turkey seperti Istambul, maupun di Israel seperti Betlehem dan Yerusalem, ataupun di Arab Saudi seperti Mekkah dan Medinah, di Mesir seperti di Kairo, atau bahkan di Vietnam seperti di Ho Chi Min dan Hanoi, atau di Filipina seperti di Manila, atau bahkan di Malaysia seperti di Pulau Penang, dan lain-lain, semuanya menjual bangunan-bangunan pusaka budaya (cultural heritage building) sebagai destinasi wisata. Kenyataan sama terdapat di kota menengah, Pematangsiantar di Sumatera Utara.
Historical tours at Pematangsiantar and Its Surounding
Kota Pematangsiantar di Provinsi Sumatera Utara mengandung potensi wisata city tourism terutama bagi wisata bangunan pusaka budaya (cultural heritage building tourism). Adapun potensi wisata city tours di Pematangsiantar terangkum pada wisata perkebunan (plantations tourism), yakni nostalgia tentang perkebunan yang menjadi embrio kota Pematangsiantar.
Sebagai catatan, perkembangan pesat ‘Kampung Siantar’ menjadi ‘Kota Siantar’ tidak terlepas dari faktor perkebunan. Dalam catatan sejarah, disebut bahwa perkebunan menjadi faktor modernisasi kota Siantar. Perkebunan mendorong perkembangan kampung menjadi kota (munipalicity). Kekhususan perkebunan di Siantar terlihat dari perkebunan, warisan sejumlah besar pengusaha (planters) Eropa di Siantar. Perkebunan teh, karet, sawit termasuk coklat, hingga hari ini masih terdapat di sekeliling kota Pamatangsiantar. Sementara itu, ditengah-tengah kota Pematangsiantar, terdapat ratusang bangunan-bangunan berarsitektur art deco, modern dan renaissance dari periode perkebunan. Kekhususan bangunan mencerminkan keberfungsian awal sebagai sekolah, bank, rumah ibadah, hotel, cafe, percetakan, bioskop, kantor walikota, taman bunga, jembatan, museum dan lain-lain. Bangunan-bangunan dimaksud tidak saja mencirikan kegemilangan perkebunan tetapi juga menggambarkan modernisasi, atau perubahan geografi dan topografi menjadi lansekap kota di periode 100 tahun silam.
Konsep wisata sejarah perkebunan di Pematangsiantar dan sekitarnya, (Historical tours at Pematangsiantar and Its Surounding) adalah model ditawarkan sebagai city tourism di kota Pematangsiantar. Konsep dan model historical tours at Pematangsiantar and Its Surounding menawarkan wisata sejarah untuk bernostalgia dengan periode sejarah perkebunan. Dalam hal ini, wisata sejarah dikombinasikan dengan tinggalan-tinggalan perkebunan seperti bangunan pusaka budaya dan perkebunan. Keduanya membawa pengunjung pada kedudukan kota menengah yang mengikutsertakan bangunan pusaka budaya di inti kota maupun perkebunan di sekeliling kota. Konsepsi Historical tours at Pematangsiantar and Its Surounding memadukan wisata kota dan lingkungan kota (eco-city tourism), destinasi wisata yang menarik bagi kalangan urban dan pengunjung potensial yang hadir di kota.
Urgensi dan signifikansi pengemasan bangunan pusaka budaya dalam konsepsi historical tours at Pematangsiantar and its suronding mencakup 4 poin utama; (1) melestarikan, melindungi dan memanfaatkan bangunan pusaka budaya sebagai objek dan destinasi wisata; (2) mendorong ekonomi kreatif di perkotaan serta memberikan insentif bagi pengelola, pemilik dan stakeholder yang berkepentingan terhadap bangunan pusaka budaya, (3) merawat memori kolektif dan identitas kota, yaitu warisan perkebunan di perkotaan, awal modernisasi, pertumbuhan dan perkembangan kota dari sebuah kampung menjadi kota modern, dan (4) menyediakan destinasi guna mendukung pariwisata kota seperti agrowisata, eco-tourism dan kekhasan kota Pematangsiantar sebagai kota perkebunan di Provinsi Sumatera Utara.
Urgensi dan signifikansi historical tours at Pematangsiantar and its suronding sangat mungkin dilakukan mengingat point-point di berikut ini; (i) bangunan pusaka budaya, warisan perkebunan yang masih tersedia, eksis dan berdiri megah di jantung Kota Pematangsiantar, (ii) adanya kesempatan melestarikan dan melindungi bangunan pusaka budaya, warisan perkebunan karena kebanyakan diantaranya dikuasai pemerintah maupun swasta yang dijadikan sebagai ruang publik, (iii) kekhasan Kota Pematangsiantar sebagai warisan perkebunan hanya ditopang oleh bangunan-bangunan pusaka budaya sebagai jati diri, identitas dan perwujudan memori kolektif, dan (iv) Kota Pematangsiantar adalah kota transit, kota pelajar dan tujuan urbanisasi dari utara Danau Toba maupun Selatan Selat Malaka serta daerah industri kawasan khusus Sei Mangkei.
Kesulitan yang dialami dalam upaya menjadikan bangunan pusaka budaya sebagai objek atau destinasi historical tours at Pematangsiantar and its suronding, dirangkum dalam dua poin berikut ini; (a) rendahnya keterlibatan publik dan swasta dalam pelestarian, pelindungan dan pemamfataan bangunan pusaka budaya sebagai objek atau destinasi wisata di Kota Pematangsiantar, dan (b) kurangnya political will pemerintah kota dalam menerbitkan regulasi terkait dengan pelestarian dan pelindungan bangunan pusaka budaya sebagai destinasi atau objek wisata di Kota Pematangsiantar. Pemamfataan bangunan pusaka budaya sebagai objek destinasi historical tours at Pematangsiantar and its suronding, dapat dilakukan dengan dua poin utama; (1) sinergi swasta dan pemerintah kota, ataupun (2) melibatkan komunitas dan kalangan penikmat bangunan pusaka budaya.
Tahapan ataupun urutan pemanfaatan bangunan pusaka budaya sebagai destinasi historical tours at Pematangsiantar and its suronding, mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
Tahapan pemanfaatan bangunan pusaka budaya sebagai destinasi historical tourism at Pematangsiantar and its surrounding
Sebanyak 3529 (dua puluh sembilan) bangunan pusaka budaya terdapat di Kota Pematangsiantar. Ke-29 bangunan berdiri di jantung kota Pematangsiantar di 4 (empat) segmen seperti dijelaskan pada prolog di bagian depan naskah ini. Mayoritas, ke-29 unit bangunan dimiliki pemerintah dan swasta. Sebagian kecil dimiliki individu yang dimanfaatkan sebagai toko, dan warisan keluarga. Melihat kenyataan bangunan pusaka budaya saat ini di Pematangsiantar, memiliki potensi bila dikembangkan menjadi destinasi wisata. Kenyataan ini dipengaruhi 3 hal pokok, yaitu: (i) Pematangsiantar berdampingan dengan Danau Toba serta Jalur pariwisata Bukit Indah Simarjarunjung (BIS) yang terhubung ke Tanah Karo dan Medan; (2) akses masuk dari jalur timur, Batubara dan Asahan menuju Danau Toba, dan (3) akses dari utara menuju Kualanamau, Medan ataupun Selat Malaka di Batubara.
Historical tours at Pematangsiantar and its suronding, dengan demikian memiliki potensi untuk dikembangkan berdasar pada bangunan pusaka budaya. Pemamfaatan ini bukan saja menjaga warisan kota perkebunan, namun sekaligus menyediakan destinasi-destinasi bagi kaum urban yang bermigrasi atau tinggal di Kota Pematangsiantar. Kesempatan dan peluang menuju Historical tourism at Pematangsiantar and its surrounding sangat terbuka apabila terdapat sinergi antara pemerintah kota maupun swasta serta stakeholder yang menaruh apresiasi terhadap bangunan pusaka budaya. Namun, seperti disebut di awal epilog ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah political will pemerintah, kemudian bersinergi dengan swasta ataupun stakeholder. Kombinasi ketiganya dapat mendorong laju pertumbuhan pariwisata kota, guna mendongkrak faktor-faktor ekonomi, terutama informal yang digeluti 2/3 penduduk kota. Tanpa sinergi dan political will, pemamfaatan bangunan pusaka budaya sebagai destinasi wisata di perkotaan hanyalah sebuah keniscayaan.
Penutup
Buku ini disusun sebagai hasil pengkajian terhadap pemamfaatan bangunan pusaka budaya sebagai objek dan destinasi historical tourism at Pematangsiantar and its surrounding. Sebagai hasil kajian, naskah ini menyajikan ide-ide atau gagasan tentang bagaimana dan mengapa mengemas bangunan-bangunan pusaka budaya warisan perkebunan menjadi objek dan destinasi wisata perkotaan. Ide-ide yang dituangkan dalam naskah ini membutuhkan implementasi nyata guna mewujudkannya.
Suatu hal yang harus digarisbawahi bahwa pemamfaatan bangunan pusaka budaya sebagai objek atau destinasi wisata di Kota Pematangsiantar, sesungguhnya bukanlah hal sulit. Mengapa? Seluruh objek atau bangunan pusaka budaya masih dapat ditemukan di jantung kota dan terletak tidak saling berjauhan. Eksistensi di pusat kota memungkinkan kedekatan dengan maksud dan tujuan bisnis, perdagangan ataupun urusan pemerintahan di inti kota. Jalur-jalur pedestrian yang terdapat di inti kota dapat mendukung pariwisata kota yang elegans. Kemajemukan kota dari segi etnik, agama dan atribut kultural menambah daya gedor wisata yaitu kekhususan lokalitas. Kemudian, predikat kota toleran, memungkinkan pengunjung semakin nyaman meminjakkan kakiknya di Pematangsiantar.
Objek atau destinasi modern yang ditambahkan belakangan seperti Monumen Kwan Im ataupun Monumen Becak serta pertumbuhan cafe-cafe tongkrongan maupun restoran yang menyajikan kekhasan lokal, turut mendukung pertumbuhan wisata di Kota Pematangsiantar. Hanya saja, meskipun bangunan-bangunan pusaka budaya masih berdiri di Pematangsiantar, pemamfaatanya sebagai destinasi wisata kota belum berfungsi maksimal. Kenyataan ini terjadi karena kurangnya apresiasi masyarakat maupun owners bangunan pusaka budaya untuk memamfaatkan potensi wisata yang dikandung bangunan pusaka budaya itu. Kenyataan ini berdampak bagi privatisasi bangunan yang lebih eklusif, atau tertutup bagi wisatawan. Privatisasi berdampak bagi tidak adanya keinginan wisatawan untuk melihat dan mendapatkan pengalaman kongkret ketika berada di Pematangsiantar. Oleh karena itu, pemerintah kota berkewajiban menerbitkan regulasi yang mengatur tentang bangunan-bangunan pusaka budaya sehingga dapat diakses publik dan memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelolannya. Tanpa itu, upaya apapun untuk menjaga identitas kota, memori kolektif yang menjual nostalgia perkebunan tidak akan pernah tercapai dengan maksimal.